Dadakan itu menyebalkan, tapi nggak semuanya menyebalkan kok! 😆
•••
Hari minggu akhir bulan lalu, saya iseng banget ingin jalan-jalan ke Museum Multatuli, tepatnya di Rangkasbitung. Saya ingin napak tilas kisah pemberontakan masa kolonialisme Belanda yang katanya tergambar dengan keren dengan desain museum yang cukup futuristik.
Rangkasbitung ini sendiri letaknya 93 kilometer ke arah baratdaya dari Jakarta. Butuh waktu dua jam lebih untuk sampai di Rangkasbitung, belum terhitung bahan bakar yang dikeluarkan dan emosi yang harus ditahan menghadapi lalu lintas yang sulit diprediksi. Kadang macet, kadang macet banget.
Rangkasbitung ini sudah masuk provinsi Banten ya, gengs. |
Bisa dibayangkan kalau saya ke Rangkasbitung naik motor. Sampai sana, udah kucel dan bau, nggak proper lagi buat difoto-foto 😅. Tapi jarak tak jadi kendala untuk ngabuburit melancong ini, karena sudah ada KRL CommuterLine yang siap mengantar ke Rangkas. Malah enak naik kereta, tinggal duduk dan tidur (sama pasang kuping kalau sudah dekat stasiun, sih. Tetap ga tenang ya tidurnya hahahaha). Daripada naik kendaraan pribadi, cuma bisa bikin emosi.
Perjalanan saya pun dimulai dari Stasiun Cawang —stasiun kereta terdekat dari rumah, sekaligus janjian dengan teman disana yang datang dari Depok. Sekitar jam 06:20 pagi, jugijagijug dengan tujuan ke Stasiun Tanah Abang pun datang.
Naik dari Stasiun Cawang (garis kuning) menuju Stasiun Tanah Abang, transfer ke Stasiun Rangkasbitung (garis hijau muda). Estimasi dua jam perjalanan. |
Sesampainya di Tanah Abang, ternyata eh ternyata, kereta tujuan ke Rangkasbitung akan tiba sekitar satu jam lagi. Mati gaya dong, mau ngapain juga satu jam di Tanah Abang. Sempat terbesit mau jajan dulu di luar, tapi baru ingat kalau lagi puasa 😅. Daripada makin random, akhirnya kami memutuskan ke Stasiun Maja dulu sambil nunggu kereta ke Rangkas.
Sebelum naik kereta tujuan Maja, saya sempat dibikin norak gara-gara baru tahu kalau di Stasiun Tanah Abang sudah ada eskalatornya 😅. Jadi, yang mau keluar stasiun atau menyeberang antar peron nggak perlu lagi lewat rel kereta. Ada musala nya juga, ada ATM Center nya pula. 2015 lalu, waktu saya ke Stasiun Tanah Abang belum se rapi ini seingat saya. Good move.
Permisi~ |
Keren ya, yaampun saya norak bingit 😆 |
Ini kali kedua saya naik kereta ke arah Banten. Sebelumnya, pernah naik ke arah Cisauk waktu sama Yuli ke Big Bad Wolf 2018. Itupun penuh drama dan nangis-nangis karena kepanasan, walaupun pulangnya kita berdua dapat kopi super enak di Mendem Irenk.
Sepanjang perjalanan, mata saya dimanjakan oleh hamparan sawah, pepohonan rindang, hingga ngintip kerbau mandi. Seperti perjalanan ke kampung buyut saya di daerah Jember.
Fabiayyi 'Aala'i Rabbikuma tukadziban? |
Stasiun Maja ini cukup bersih. Ada ruang-ruang kosong yang dapat dialihfungsikan jadi tempat nge-charge HP dan santai-santai sejenak, sambil menunggu kereta datang. Animo masyarakatnya sendiri menurut saya cukup besar untuk menggunakan moda transportasi ini, bahkan terbantu untuk menyambungkan antara suburban area dengan perkotaan. Soalnya, gak habis-habis orang yang naik kereta loh!
Ramai betul~ Sumber foto: MIG |
TARAAA, selamat datang di Rangkasbitung! Keluar stasiun langsung disambut matahari yang cukup terik dan musik dangdut. Stasiun Rangkasbitung ini posisinya di dekat Pasar Rangkasbitung, jadi jangan kaget ketika keluar stasiun bakal heboh dengan penjual ember, buah-buahan, angkot dan mamang becak.
Perjalanan kami berlanjut. Untuk menuju Museum Multatuli yang ada di dekat Alun-Alun Rangkasbitung sebenarnya sih ada beberapa moda transportasi pilihan, mulai dari angkot, ojek hingga becak. Karena jaraknya (berdasarkan pantauan Mbah Google Maps) hanya 1.3km, maka kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Sebenarnya juga tidak terasa jauh karena pagi hari suasana di Rangkasbitung masih teduh, hitung-hitung sambil menikmati kota.
Adem, kan? |
Nah, di kawasan Museum Multatuli ini sebenarnya adalah kawasan terpadu, dimana tidak hanya ada museum, tapi juga ada perpustakaan umum dan sentra batik khas Lebak. Sempat salah masuk, ternyata saya malah masuk perpustakaan, bukan masuk museum hahaha. Ya habis gimana dong, dari depan memang nggak terlihat pintu masuk perpustakaan sama sekali. Di bayangan saya yang masih konvensional ini, pintu gerbang perpus jelek dan terkesan tua, tapi ini beda banget!
Namanya, Perpustakaan Saidjah Adinda. Buka setiap hari, ada ruang baca khusus anak yang keren!
Pintu masuk Perpustakaan Saidjah Adinda |
Ibu penjaga perpus ini bilang kalau pintu masuk museumnya ada di samping museum ini, yang ada pendopo di depannya. Cus langsung deh..
Museum ini berisikan diorama kehidupan rakyat Lebak pada tahun 1800 hingga 1900-an. Disini diceritakan bagaimana penjajahan masuk ke Nusantara, penderitaan hingga perlawanan-perlawanan rakyat Lebak terhadap kolonial. Museum Multatuli ini sendiri memiliki tujuh ruang pamer, dimana setiap ruangan mewakili periode di dalam sejarah kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Ruang pertama merangkap sebagai lobi dengan hiasan wajah Multatuli. Ruang kedua menceritakan masa awal kedatangan penjelajah Eropa ke Nusantara, masa-masa Cornelis de Houtman menemukan jalur pelayaran ke Indonesia. Ketiga, tentang periode tanam paksa dengan fokus budidaya kopi, atau yang biasa disebut tanam paksa kopi. Keempat, ruang Multatuli dengan segala 'pemberontakan' nya lewat tulisan dan pengaruhnya kepada para tokoh gerakan kemerdekaan. Kelima, menceritakan gerakan perlawanan rakyat Banten hingga gerakan pembebasan Indonesia dari penjajahan Belanda selama 350 tahun. Keenam, terdiri dari rangkaian kronologis peristiwa penting di Lebak dan era purbakala. Ketujuh, terdiri dari foto mereka yang pernah lahir, menetap serta terinspirasi dari Lebak.
Mari kita kupas satu per satu.
•••
Museum Multatuli ini baru diresmikan pada 11 Februari 2018. Dulunya, bangunan ini merupakan bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak yang dibangun pada tahun 1920-an. Di ruang pertama alias lobi museum, saya langsung terhipnotis dengan potongan grafis wajah Multatuli dan quote andalannya.
Tugas manusia adalah menjadi manusia, tidak usah ikut (sifatnya) menjadi setan yang tamak, mungkin itu maksud beliau. |
Jelajah ruang kedua cukup menarik karena disertai dengan tampilan mulitimedia yang ciamik. Ada gambar kapal Belanda yang mendarat di Indonesia pertama kali dan juga miniatur komoditi yang digemari masyarakat Eropa dari alam Indonesia.
Mempelajari sejarah dengan ilustrasi begini lebih enak ya ternyata. |
Nah, masuk ruang ketiga ini agak gelap-gelap gimana gitu. Ada miniatur pohon kopi berwarna cokelat dan juga alat pencacah kopi tempo dulu. Penjaga museum menceritakan betapa wargatersiksa dengan kolonialisme yang terjadi di Lebak, bahkan Belanda dibantu untuk semakin menyiksa warga Lebak oleh Bupatinya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Kartanegara.
Ini coffee grinder pada tahun 1930-an. |
Dahulu, warga Indonesia ga boleh minum kopi, tapi bolehnya daun kopi. Jadi, kalau mau minum kopi ya cuma boleh rebus daun kopi. Sedih ya.. |
Di ruang keempat ini fokus membicarakan tentang siapa itu Multatuli. Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Deker, seorang asisten residen di Lebak yang bermukim di Rangkas Bitung. Lewat tulisan-tulisannya, Multatuli ingin membuka mata dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia Belanda.
Kedatangan Douwes Dekker pada tahun 1856, saat itu Lebak masih dipimpin oleh Bupati Kartanegara. Dekker melihat bahwa begitu banyak penindasan di Lebak. Sebagai seorang asisten residen, Dekker menulis apa yang ia lihat dari kacamatanya, betapa warga Lebak dipaksa untuk ikut kerja paksa, dari anak muda hingga orang tua. Beliau juga melihat kekacauan yang dilakukan oleh pribumi yang membelot ke Belanda hanya demi jabatan.
Laporan-laporan yang Dekker tuliskan, beliau laporkan kepada Governoor —sebutan untuk Gubernur Belanda pada saat itu. Dalam laporan Dekker, tertulis jelas segala kejadian yang ada di Lebak dan betapa tertekan warganya akibat tanam paksa kopi. Nyatanya, Governoor malah memecat Dekker karena dinilai lebih memihak ke warga Lebak. Gajinya pun selama bekerja tidak dibayarkan. Dekker pun tidak diterima di Belanda saat ia kembali, ditambah istrinya yang cantik jelita meminta diceraikan. Sakit hatinya tidak karuan, membuat ia semakin menggila dan tenggelam dalam tulisan, lebih menjiwai dan mengupas penindasan di tanah jajahan Belanda satu per satu. Dekker pindah ke Belgia, menggunakan nama pena Multatuli yang diambil dari bahasa Latin, Multa dan Tuli, artinya aku yang amat sangat menderita. Segala laporan kerjanya selama di Lebak beliau jadikan buku dengan nama Max Havelaar. Buku ini dikirimkan ke Raja Williem III, agar raja mengetahui kolonialisme dan imperialisme yg dilakukan Belanda di tanah jajahannya.
Salah satu tulisan Dekker untuk Raja Williem III. |
Buku Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar: atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) |
Buku ini menjadi sorotan dunia terutama Eropa. Max Havelaar menginspirasi segelintir orang Belanda, salah satunya adalah Van Deventer yang akhirnya membuat artikel berjudul Een Eerschuld (Utang Budi). Ia menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda sehingga harus dibuatkan sebuah program yang dikenal dengan Politik Etis.
Memasuki ruang kelima, saya tertarik pada kisah tahun 1930-an, dimana di Lebak sempat terjadi pemberontakan atas keengganan warga Lebak ikut kerja paksa. Nyimas Gamparan dan 29 perempuan petani kopi berontak, mengadu ke pihak Hindia Belanda. Namun apa daya, Nyimas Gamparan sang pelopor pemberontakan dibunuh oleh warga pribumi yang haus akan jabatan. Nyimas dibunuh oleh Raden Tumenggung Kartanegara. Berkat jasa Kartanegara yang telah memberantas pemberontakan, Belanda memberikan tahta kepada beliau sebagai Bupati.
Inilah sosok Nyimas Gamparan |
Banyak orang yang bingung, apakah Douwes Dekker si Multatuli sama dengan Douwes Dekker si Dokter Setiabudhi? Jawabannya, tidak sama. Multatuli adalah kakek dari Dokter Danudirdja Setiabudi —bergerak di dunia politik Hindia Belanda tahun 1900-an, mendirikan partai bernama Indische Partij, Partai Hindia Belanda.
Ki Hajar Dewantara (kiri), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (tengah), dan Ernest Douwes Dekker (kanan) |
Ruang pamer enam lebih menjelaskan seluk beluk Lebak, bagaimana mereka bertahan hidup dari zaman penjajahan Belanda, Jepang hingga akhirnya merdeka. Tentang kereta api jalur Batavia - Rangkasbitung - Sajira, tentang warga Rangkasbitung yang dikirim ke Suriname, hingga pabrik minyak kelapa Mexolie yang terbesar se Hindia Belanda.
Enak ya dilihatnya, kalau belajar Sejarah disusun rapi seperti ini. |
Sudut akhir dari Museum Multatuli ini berisi tentang mereka yang pernah lahir, menetap dan menginspirasi Lebak. Satu sudut yang menarik untuk saya adalah foto di paling ujung kanan, seorang perempuan Belanda keturunan Lebak yang cantik. Beliau adalah Eugenia van Beers, ibunda dari Alex dan Eddie Van Halen! Ternyata, antara Alex atau Eddie lahir di Rangkasbitung loh 😆
Bergeser keluar museum, ke sudut kiri, terdapat patung Multatuli yang sedang membaca buku, cukup besar dan tentu saja Instagramable.
Haruskah Instagramable untuk menarik minat orang Indonesia belajar sejarah? :( |
Perjalanan bedah museum Multatuli berakhir. Seru!
Kami kembali ke Jakarta menggunakan becak ke Stasiun Rangkasbitung, dilanjutkan dengan KRL menuju Tanah Abang.
Total biaya selama perjalanan
- Tiket KRL Cawang — Rangkasbitung PP : Rp18.000
- Ongkos Becak menuju Stasiun : Rp15.000
Total : Rp33.000
Sungguh perjalanan yang menyenangkan, bermanfaat dan ekonomis!
Kemana lagi ya habis ini? |
😛
You’ll receive a 250% match-up on your first deposit, after which it reduces to 100 percent for the 코인카지노 following deposits. The maximum bonus money you can to|you probably can} receive from every deposit is $1,000. If you're keen on|you like} high RTP slots as much as we do, you must to} positively a glance at|try} Super Slots. Just like the name of this gambling web site suggests, Super Slots is all about slots, extra particularly, high RTP slot machines.
ReplyDelete