Suatu malam sebelum lelap saya sempat update postingan Twitter demikian, setelah lelah menyelam dalam linimasa yang sibuk.
Kenapa (hidup) gini-gini aja?
Menjelang usia selepas kuliah, kita semua pasti dihantui berbagai tanya dalam hidup. Mau kerja kemana? Mau kerja sesuai keinginan atau se-keterimanya-kerja aja? Mau nikah, tapi pacar gak setia masih ingin eksplor diri kesana-kemari? Tekanan kiri-kanan untuk membentuk pribadi seperti A B C kadang bikin stress sendiri.
Banyak yang bilang, ini disebut Quarter Life Crisis. Hah, apaan sih itu?
Seperti hidup dalam paradoks, semua yang sedang dalam kebimbangan di quarter life crisis menganggap bahwa hidup ini kok gini-gini aja ya? Saya kok kesannya nggak bisa berkembang ya? Temen saya itu udah S2 lho, otw kawin, udah beli rumah di Cipete. Lha kok saya masih mantengin linimasa liat twitwar Drama Kecebong Kampret?!
Tak hanya pertanyaan terkait status sosial, bahkan pertanyaan seputar integritas diri pun bermunculan. Keinginan diri untuk menjadi sesuatu dan berkomitmen dengan diri sendiri menjadi hal yang sulit.
Jujur, tempo hari saya sedang merasa kelelahan. Lelah akan capaian orang lain yang lebih dari saya, dimana semua teman-teman saya sepertinya sudah achieve more dibanding saya dalam hal prestasi dan salary jabatan tinggi. Melihat teman yang sudah menggendong bayi malah menimbulkan ketakutan pada saya, apakah saya setua itu sampai-sampai timeline gue kok isinya bayi gumoh semua?
Sosial media itu seperti showroom dimana kita bisa menunjukkan apapun. Mulai status, popularitas, prestasi, gaya hidup, hobi, kehidupan pernikahan/keluarga, bisnis yang sedang dijalankan, tempat hangout/liburan dan lain sebagainya, karena sosial media salah satunya memang dirancang secara untuk "terlihat" oleh orang lain, termasuk sebagai lapak untuk membenci sesuatu/orang lain secara bersama-sama.
Sosial media—terutama Instagram—melelahkan bagi saya, Sangat lelah.
Padahal, lewat Instagram saya bisa "memantau" pertemanan saya. Melihat teman-teman saya yang update berdesakan di Commuter Line, keluh kesah kemacetan ibukota yang disampaikan dari dalam mobil bermuatan seorang diri, liputan perjalanan kerja ke pelosok negeri (bahkan ke luar negeri!) dan bermewah-mewahan disertai dengan tagar #DibayarinKantorIni. Informasi terkait teman yang siap meluncur ke Eropa untuk melanjutkan studi pun saya dapat dari Instagram.
Tak hanya kagum, jujur, saya pun iri dengan mereka. Mereka bisa tahu apa yang mereka mau, mencapai titik tertentu dalam hidup, dan lewat media sosial pun saya bisa merasakan penderitaan dan kesedihan mereka, tapi hanya sekadar simpati.
Saya juga sempat candu Instagram. Membuat update tentang suka dan duka saya. Sedikit banyak bikin story tentang pemikiran saya, pemandangan, lagu favorit, bahkan seringkali bermain kata. Entah apa tujuannya saya unggah, padahal belum tentu semua orang peka dengan kebahagiaan dan kesedihan saya.
Saya luapkan saja semua suka dan duka saya di media sosial, menyalurkan luapan bahagia kepada netizen (kalau sedang senang) dan bercerita sedu-sedan (kalau hati sedang kurang hepi). Alhasil yang saya dapat? Berbalik kata-kata "duh pengen deh kayak gituuu" saat saya sedang bahagia, atau "sabar ya" saat kesedihan melanda. Habis gitu, apalagi dong?
Atau seringkali, saking getolnya saya membuka IG, liat foto orang - liat photos tagged with nya - buka profilnya - lihat foto-fotonya - lihat foto sama pasangannya - buka akun pasangannya, dikunci! - buka lagi foto temannya yang lain, dan begituuuu terus. Sadarkah kita, bahwa media sosial juga membombardir kita dengan prestasi besar rekan-rekan kita — seperti yang saya ceritakan di atas, dipromosikan, bertunangan, memiliki bayi, dan lain sebagainya.
Mungkin bagi teman saya (termasuk saya dulu, sebelum resign dari IG), apa yang mereka unggah itu bukan bermaksud untuk pamer, bisa jadi hanya ingin berbagi, tapi nyatanya tidak semua orang bisa menerima tersebut. Apalagi kalau yang diunggah itu mengandung hal-hal yang sensitif bagi orang lain; dan tidak semua orang bisa menerima dengan legowo. Bahkan sekalipun sahabat saya, orang yang menurut saya paling tidak egois di dunia ini merasa iri, terkadang mempertanyakan kehidupannya yang berbeda dengan orang-orang di Instagram-nya.
Bagaimana dengan perasaan seseorang yang belum dikaruniai anak melihat unggahan temannya yang sedang ndusel-ndusel anak pertamanya? Atau keluhan harus begadang semalam suntuk karena sang anak haus sepanjang malam? Bagaimana dengan unggahan lain seperti betapa bangganya masuk sekolah bonafide dimana unggahan tersebut dilihat oleh seorang yang ditolak sekian kali oleh kampus impiannya,
Saya sadar, saya nggak satu-satunya yang mengalami ini.
Bagaimana cara saya menghadapi krisis jati diri di usia menjelang dewasa ini?
Menghapus Instagram di Ponsel.
Iya, beneran. Uninstall Instagram mulanya sangat berat bagi saya. Saya bingung untuk mencari tahu kabar teman-teman saya yang bertebaran di muka bumi ini. Saya khawatir untuk tak lagi bisa memantau tempat-tempat yang nyaman untuk ngopi, atau nggak lagi lihat postingan FluxCup.
Tapi ternyata, saya nggak kehilangan itu semua.
Buktinya sampai sekarang, sekian bulan setelah saya menghapus Instagram dari hp, saya masih hidup kok. Ya walaupun info postingan FluxCup selalu telat saya tahu, tapi saya malah dapat referensi kopi dari Grup Telegram atau dari Twitter. Lebih enak juga 'belajar' selain di IG, karena di IG lebih nunjukkin tempat-tempat yang Instagramable, bukan malah membahas tentang seduhan kopi yang laik minum. Sudah bosen juga sih, nongkrong di kafe kopi yang kekinian. Boncos, beb.
Lalu gimana cara tahu kabar teman-teman dong?
Begini gaes.. kalau temanmu itu benar-benar teman, tanpa perlu mereka memantau media sosialmu, mereka pasti akan caritahu kabarmu langsung, kontak via chat atau langsung aja telfon. Vice Versa, kalau mau tahu kabar temanmu, ya tinggal telfon aja. Tidak perlu memantau lewat media sosial. Dari sini juga, saya bisa tahu yang mana yang sebenar-benarnya teman menurut saya. Saya tahu mereka yang benar-benar menaruh perhatian pada saya dan peduli, walaupun hanya berkomunikasi lewat chat. Nggak zamannya lagi menurut saya, untuk menunjukkan bahwa dia adalah friends forever kita lantas perlu diunggah kemana-mana. No one cares, mau dia temanmu mau dia musuhmu, kamu hanya jadi konsumsi mereka yang tidak sebenar-benarnya menaruh perhatian padamu. Udah fasenya juga, usia segini memilah pertemanan yang lebih sehat untuk kedepannya.
Perhaps, one of the biggest culprits is comparison—membandingkan hidup kita dengan orang lain itu tidak akan ada habisnya. Saya sadar, harusnya saya gak boleh sirik dengan orang-orang yang lebih segalanya dari saya, dan sebenarnya saya pun juga tidak sirik. Tapi adakah satu momen dimana kita ingin se-sukses teman-teman saya yang bisa update begini-begitu dan live for the fullest.
Saya pun memutuskan uninstall, mencegah diri dari terus membandingkan kesuksesan saya dengan teman, dan sekarang saya benar-benar menikmati hidup. Saya belum se-alim itu untuk tidak compare diri sendiri dengan keberhasilan orang lain. Daripada misah-misuh, lebih baik jauhkan yang memicu emosi. ✌
Terkait prestasi kecil saya seperti mendapat kesempatan berkunjung dan menginap di Istana Presiden tanpa pengawalan, sekadar berlibur dengan orang tua, atau bahkan bisa makan Indomie dengan tenang di rumah pun tidak merasa perlu diunggah. Iya, saya dulu se aneh itu dengan mengunggah apapun ke media sosial saya. Lihat saja bagaimana saya berusaha menjaga feed Instagram saya agar rapi dilihat. Nyatanya saya tetap lebih suka apresiasi langsung atas karya-karya saya daripada hanya sibuk merapikan feed yang ujung-ujungnya capek sendiri. Tetap nggak rapi 😂
Pernah juga, saya unggah foto si mantan di Instagram. Pas putus, ya saya hapus. Hapus foto saja bisa jadi drama tersendiri bagi sebagian orang. Tolak ukur pasangan tersebut sudah bubar ya dari unggahan di Instagramnya, apakah masih ada foto si doi apa tidak. Bukannya bertanya langsung, malah lagi-lagi menimbulkan asumsi yang belum tentu benar adanya. Bisa jadi dihapus karena mereka mau pasang foto-foto yang lebih kece lagi, kenapa tidak?
Saya fokus dengan segala aktivitas saya, dimana saya tetap berbagi dengan teman-teman dekat saya, perbanyak baca buku lagi, dan bertemu relasi baru. Saya lupa bagaimana rasanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk menelusuri orang asing yang saya temui dari tab explore Instagram saya. Dengan saya uninstall Instagram (atau kalau kamu tidak ingin, setidaknya coba kamu lakukan Puasa Instagram dan rasakan manfaatnya), saya merasa lebih baik dan belajar untuk lebih sayang dengan diri sendiri. Toh tetap tidak akan ketinggalan informasi, jika hanya satu media sosial yang kamu abaikan. Daripada ngedumel lihat orang lain, lebih baik refleksi ke diri sendiri.
Saya lebih aktif di Twitter. Sedang mendisiplinkan diri untuk rajin kembali menulis, untuk refreshing. Tidak lagi penasaran ke kafe-kafe fancy, persetan dibilang katro oleh orang-orang karena tidak tahu tempat gaul. Perbanyak bersyukur atas pencapaian kita saat ini dan tetap menghargai proses yang sedang berjalan adalah kunci dari kesiapan hidup.
Dan saya juga sadar, bahwa sebenarnya Quarter Life Crisis itu nggak benar-benar krisis kok. Setuju?
Adios,
Gaby!
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSering banget nih denger yang begini. Ya memang semua ada waktunya. Ada waktunya galau ada waktunya seneng ada waktunya gitu gitu aja mungkin. Hehe
ReplyDeleteNikmatin prosesnya dan bersyukur, poinnya disana ya. Semangat untuk kita 😄
Yapp! Ketika ngerasa gitu-gitu aja, selalu inget bahwa sampai di titik kita skrg pun bukan karena kita nggak ngapa-ngapain :))
DeleteSemangat juga kaaak, anw salam kenal 🤝
Itu apa nama grup telegram yg dimaksud? *Soalreferensikopi
ReplyDeleteHai kak Fajar, salam kenal. Saya biasa nongkrong di Telenya Indonesia Roasterguild Forum @coffeeroaster. Boleh mampir2 ya 😬
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteProgressive slots put variety of the} wagered funds into a jackpot pool that progresses with each credit 카지노사이트 score wager. Individual slot machines can have a progressive jackpot or two or more slot machines additionally be} linked permitting many players to compete for a jackpot. The free spin bonus is one of the|is amongst the|is likely considered one of the} hottest slot game options. Therefore, a slot machine software program development company will certainly include it in your slot game.
ReplyDelete